Perda Patanjala: Kearifan Leluhur Jadi Fondasi Pelestarian Sumber Air di Sukabumi

BERITA, SUKABUMI44 views

SUKABUMI – Anggota DPRD Kabupaten Sukabumi dari Komisi II Fraksi PKB, Bayu Permana, menekankan pentingnya penerapan Peraturan Daerah (Perda) tentang Pelestarian Pengetahuan Tradisional dalam Pelindungan Kawasan Sumber Air, atau yang lebih dikenal sebagai Perda Patanjala.

Peraturan ini baru disahkan setelah melalui pembahasan bersama antara pihak DPRD dan Pemerintah Kabupaten Sukabumi. Bayu menjelaskan bahwa regulasi tersebut bukan sekadar aturan administratif, tetapi juga bertujuan menghidupkan kembali kesadaran masyarakat mengenai fungsi berbagai kawasan hutan, terutama dalam menjaga keberlangsungan sumber air.

Menurutnya, masih banyak warga yang belum memahami perbedaan mendasar antara hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi, padahal regulasi nasional terkait pengelolaan hutan sudah sangat jelas.
“Ketentuan tentang tata kelola kehutanan sudah diatur di tingkat nasional. Edukasi mengenai fungsi kawasan hutan ini sangat penting,” ujar Bayu.

Bayu juga menegaskan bahwa Perda Patanjala tidak memuat sanksi pidana. Aturan terkait perusakan lingkungan, aktivitas pertambangan ilegal, dan pelanggaran tata kelola hutan sudah diatur dalam beragam regulasi nasional, termasuk peraturan Kementerian Kehutanan.
Ia mencontohkan bahwa kegiatan pertanian, pertambangan, atau budidaya pada dasarnya diperbolehkan selama berada di kawasan hutan produksi. Persoalan baru muncul jika aktivitas tersebut dilakukan di kawasan lindung atau konservasi.

Ia menjabarkan bahwa kawasan konservasi seperti taman nasional, suaka margasatwa, dan cagar alam berada di bawah pengawasan langsung pemerintah pusat. Hutan lindung dikelola oleh Perhutani, sedangkan hutan produksi dapat dimanfaatkan masyarakat sesuai regulasi yang berlaku.

Lebih jauh, Perda Patanjala mengedepankan pendekatan edukatif berbasis budaya lokal. Bayu menyampaikan bahwa konsep pengelolaan hutan sebenarnya telah dikenal sejak abad ke-13 melalui naskah kuno Amanat Galunggung pada masa Prabu Guru Darmasiksa.
“Naskah tersebut membagi hutan menjadi tiga kategori: Leuweung Larangan (konservasi), Leuweung Tutupan (hutan lindung), dan Leuweung Baladahan (hutan produksi). Perda ini ingin menghidupkan kembali warisan pemikiran leluhur kita,” jelasnya.

Bayu berharap Perda Patanjala dapat mendorong kesadaran kolektif masyarakat untuk menjaga lingkungan dan keberlanjutan sumber air. Ia mengingatkan bahwa kelestarian alam bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga seluruh warga.

Terkait aktivitas pertambangan di luar kawasan konservasi, Bayu menegaskan bahwa hal tersebut bergantung pada aturan tata ruang dan perizinan.
“Jika suatu area memang ditetapkan sebagai zona tambang sesuai tata ruang, itu diperbolehkan. Namun, kewenangan perizinan tambang bukan berada di tingkat kabupaten,” tutupnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed